Kelahiran dan Perjuangan Nabi di Makkah

Assalamualaikum


Pada saat masyarakat Arab dalam suasana kegelapan (ja- hiliyyah), lahirlah seorang bayi tepatnya 12 Rabiul Awal berte- patan dengan tanggal 26 April 570 atau 571 masehi Awal tahun Gajah (50 hari setelah penyerangan pasukan Gajah dari Yaman). di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu mer- upakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perd- agangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Bayi yang dilahirkan akan membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban manu- sia. Ayah bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib meninggal dalam perjalanan dagang di Madinah, yang ketika itu bernama Yastrib, dan ibunya bernama Aminah binti Wahab yang masih satu keturunan. (M. Abdul Karim, 2007: 62-63)
Pada usia 6 tahun, Beliau ditinggal ibunya, kemudian ia diasuh kakeknya, Abdul Muthalib, namun tidak lama kemudian ditinggal juga, kakeknya meninggal, dan selanjutnya pamannya yang mengurus, Abu Thalib yang tersohor dengan karismati- knya di kalangan kaum Quraish. Kenudian Muhammad yang tinggal dengan pamannya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, untuk mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’al- laqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemu- rahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi  dan Nasrani yang memben-  ci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa


dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu.
Sejak usia 12 tahun, beliau telah menemani pamannya berdagang ke Syam. Tetapi di tengah perjalanan bertemu den- gan seorang Rahib Nasrani yang bernama Bahira. Kemudian ia melarang Abu Thalib membiarkan Muhammad tanpa penga- walan, sebab ia melihat tanda kenabian dalam diri Muhammad, dan jika tanda itu diketahui oleh orang Yahudi dikawatirkan mereka akan membunuhnya.
Dengan demikian sejak muda-belia Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato memba- cakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampin- gi paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala kemaksiatan, nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Tal-  ib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagan- gan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju


Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad den- gan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muham- mad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadi- jah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntung- kan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara ke- padanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanan- nya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai ba- rang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan ter- tarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggin- ya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini tel- ah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia yang sudah berusia empat puluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi menjaja- gi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”


“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepa- tah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muham- mad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengin- gat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya. Muhamat Husein Haikal, 1993: 198 Tidak   lama kemudian Khadijah menentukan waktun-
ya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menen- tukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang
Masa kerasulan. Ketika Muhammad berusia 35 tahun,  di kalangan suku Quraisy terdapat persengketaan ketika bersa- ma-sama membangun ka’bah yang rusak. Sengketa itu berawal dari penentuan siapa yang berhak meletakkan hajar aswad pada dinding ka’bah. Ahirnya terdapat usulan, bahwa yang berhak meletakkannya adalah orang yang pertama masuk masjid (kom- pleks ka’bah) pertama kali esok pagi. Ternyata kemudian, bahwa Muhammadlah yang paling dulu. Melihat hal tersebut, semua orang pun tidak keberatan. Akan tetapi Muhammad melakukan cara yang menenteramkan hati semua orang, yaitu dengan cara mengambil selembar kain yang dibentangkan, menaruh hajar aswad di atasnya dan meminta semua kepala suku bersama-sa-


ma mengangkatnya.
Dalam perjalanan hidupnya Muhammad selalu terjaga dari maksiyat, atau hal-hal yang tidak bermanfaat yang sering dilakukan anak-anak muda. Ia juga tidak percaya kepada berb- agai berhala yang dipertuhankan oleh masyarakatnya. Ia juga berteman dengan orang-orang yang terhormat, dan berusaha mencari kebenaran yang hakiki. Untuk itu ia sering bermedita- si. Tujuh tahun lamanya Muhammad sering mengunjungi gua Hira, untuk bermeditasi dan mencari petunjuk jalan yang lurus. Suatu hari di bulan Ramadlan 610 M ia didatangi malaikat Jibril yang menyuruhnya membaca. Kemudian disampaikanlah ke- padanya wahyu yang pertama (surat al-‘Alaq 1-5). Sepulang dari gua Hira ia meminta Isterinya untuk menyelimutinya, karena ia begitu terkejut dengan peristiwa itu. Beberapa bulan kemudian ia didatangi kembali malaikat Jibril yang menyuruhnya bangun. Sejak itu Muhammad mulai berdakwah secara tertutup, sampai datang perintah berdakwa secara terbuka (terang-teran-
gan) (Surat Al-Hijr: 94).
Misi kerasulan pertama kali disebarkan kepada keluarga terdekat. Kemudian kepada saudara-saudaranya juga pada sa- habat-sahabat terdekatnya. Secara perlahan, pengikutnya ber- tambah. Yang mula-mula sekali melangkahkan kakinya untuk masuk Islam adalah Abu Bakar As-Shidiq sekaligus menjadi pembantu Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam. Melalui Abu Bakar masuklah Usman bin Affan ke dalam ajaran Islam, Talhah dan Sa’ad dll. Dari kalangan wanita yang mula-mula masuk Islam adalah Khadijah, istri beliau sendiri yang paling dicintainya. Se- telah itu segera Ali masuk Islam, dari golongan anak-anak yang berumur sekitar delapan tahun, beliau adalah anak Abu Thalib.


Sahabat-sahabat inilah yang membantu Rasulullah men- gembangkan sayap-sayap ajaran-ajaran Islam. Hari berganti hari kaum muslimim pun bertambah besar. Yang mengikuti aja- rannya cukup bervariasi, ada yang berasal dari keturunan yang lemah, ada juga yang berasal dari keturunan yang kaya. Islam didakwakan kepada seluruh ummat manusia, meskipun dak- wahnya ini banyak mendapat rintangan dan perlawanan dari suku Quraisy dan bangsa Arab umumnya. Nabi dan sahabat- nya sering dihina, diancam, diserang fisik. Namun kesabaran Nabi dalam menghadapi semua itu, justru menimbulkan jum- lah pengikutnya semakin bertambah, walaupun pada akhirnya atas ijin Allah mengadakan hijrah ke Yasrib (Madinah) sebagai suatu strategi untuk menaklukkan bangsa Arab yang sombong di kemudian hari. (Syeh Mahmuddunnasir, 1994 : 124-125)
Di tengah-tengah kemelut yang berkembang, desakan kaum Quraisy semakin besar, Nabi ditinggal oleh istrinya ter- cinta, kemudian ia ditinggal oleh pamannya, Abu Thalib, yang selama hidupnya menjadi penopang utama dalam menyebarkan ajaran Islam.
Jika diperhatikan secara teliti perjuangan Nabi Muahm- mad Saw. Dalam menyebarkan agama Islam begitu banyak sekali ujian dari Tuhan. Beliau seperti tidak pernah diberi kesempatan mendapatkan kasih sayang dari orang-orang yang dicintainya. Juga seperti tidak pernah diberi kesempatan mendapat perlin- dungan orang-orang yang kuar. Namun jika diperhatikan secara teliti, ini semua akan memberi arti bahwa, Nabi Muhammad disuruh hanya untuk mengoksentrasikan dirinya kepada Allah SWT. Allah menjadi pelindung dan pemelihara yang paling utama dan sekaligus sebagai tempat meminta pertolongan yang


paling sempurna.
Karena gencarnya permusuhan dan siksaan terhadap pengikut Islam, maka pada tahun kelima dari kenabian, 15 orang (11 laki-laki dan 4 perempuan) melakukan hijrah ke Eti- opia, yang kemudian disusul oleh kelompok-kelompok lain. Di sini mereka diterima oleh Raja, namun kemudia rombongan ini pulang setelah mendengar kabar bohong bahwa bangsa Quraisy telah menerima Islam.
Tekanan, boikot dan penyerangan terhadap kaum muslim terus berlanjut. Kemudian Muhammad kehilangan paman dan istrinya Khadijah yang meninggal dunia pada tahun yang sama. Muhammad mencoba hijrah ke Thaif, tetapi tidak mendapat sambutan yang baik. Kemudian terjadilah peristiwa isra’ mi’raj, sebagai penghiburan dan meneguhkan hati Muhammad. Ia kemudian terus berdakwa pada orang-orang dari luar Makkah yang datang berhaji. Hal ini menjadikan rombongan dari Ma- dinah tertarik untuk bertemu dan mengundangnya ke sana. Akhirna Muhammad dan para pengikutnya hijrah ke Madinah (Yatsrib), pad atahun ke-13 dari kenabian. Ia menempuh per- jalanan selama 7 hari dan harus bersembunyi dari kejaran kaum Quraisy yang hendak membunuhnya.
Di Madinah Muhammad membangun peradaban Islam, dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Ia membentuk masyarakat madani, sebagaimana yang terkadung pada ajaran Islam. Ia mencontohkan segala ketentuan dalam al-Qur’an, ke dalam perilaku kehidupan peribadi dan masyarakat secara nya- ta. Ia meninggal pada hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H, atau 8 Juni 632 Masehi. Sebagai pemimpin agama dan Negara ia tidak meninggalkan kekayaan apa-apa yang berarti bagi anak dan kel-


uarganya.
Ajaran Muhammad memberikan kebebasan kepada umat manusia, dan menjadikan manusia sederajat antara yang satu dengan lainnya. Orang yang selama ini mendapat tekanan dan ketidakadilan, berduyun-duyun memasuki Islam. Dan karena inilah suku Quraish yang berkuasa merasa kekuasaan dan pen- garuhnya mulai dieliminir oleh pengaruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. (Husien Haikal, 1993: 102-103.)

Comments