Oleh :
Ulil Albab
(16030444)
Munjidah
(16.............)
Prodi
Pendidikan Bahasa Arab
Sekolah
Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Stilistika menuntut bahwa pemahaman
terhadap karya sastra berkelanjutan dengan pemahaman bahasanya. Kebanyakan
kritikus cenderung mengambil jalan pintas dan memproses interprestasi karya
sastra dalam konteks moral dan ideologi, tanpa memepertimbangkan tekstur
linguistik apapun. Stilistika sebagai bahasa khas sastra akan memiliki keunikan
tersendiri apabila dibandingkan bahasa komunikasi sehari-sehari. Stilistika
adalah bahasa yang telah diciptakan dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide
sastrawan.[1]
Stilistika adalah bagian linguistik
yang menitikberatkan kepada variasi pengunaan bahasa dan kadangkala memberikan
perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra. Secara harfiah,
stilistika berasal dari bahasa inggris Stilistic, yang berarti studi
mengenai style gaya bahasa atau bahasa bergaya.[2]
Stilistika juga bertujuan untuk menuntut seberapa jauh dalam hal apa bahasa
yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana
pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus.
Stilistika sering dibedakan dalam kajian bahasa sastra dan non satra. Hal itu
juga diakui oleh Bradfrord dalam studi Stile dalam bahasa sastra Barat
yang terkait dengan retorika, bahkan sejak zaman kesastraan Yunani
kalsik. Pada kesempat kali ini penulis akan memaparkan tentang Stilistika dalam
tardisi Barat dan Arab.
Pembahasa
Stilistika dalam
tradisi Barat
Hubungan antara bahasa dan sastra
merupakan masalah biasa dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Karya sastra
berasal dari bahasa sebab medium utamanya adalah bahasa. Hubungan antara bahasa
dan sastra merupakan kunci untuk memahami baik bahasa maupun sastra. Sampai
saat ini seolah-olah antara bahasa dengan sastra sudah tidak ada hubungan,
seperti berdiri sendiri. Seperti diatas, bahasa adalah medium utama karya
sastra. Tidak ada karya sastra tanpa bahasa. Mempelajari sastra pada dasarnya
sama dengan memepelajari bahasa sebab menurut Wellek dan Warren (1989: 212)
yang diteliti adalah perbedaan sistem bahasa karya sastra dengan sistem bahasa
pada zamannya. Karya sastra (Bakhtin,1984: 15), dalam hubungan ini stilistika,
khususnya dalam puisi bukanlah kumpulan huruf, melaikan merupakan kombinasi
bunyi, bukan langue melainkan parole, gaya bahasa sebagai wacana.
Menurut Wellek dan Warren (1989: 223) stilistika bukan semata-mata permainan
kata-kata, persamaan dan perbedaan bunyi, dan sebagainya, tetapi juga penekanan
dan penjelasan, yang secara keseluruhan pada umumnya disebutkan sebagai aspek
ekspresif. Menurut Holman, (1980:432) stilistika merupakan kombinasi dua
elemen, yaitu ide yang diekspresikan dan individualisme penulis. Jadi, tidak
ada dua personalitas yang sama atau dua gaya bahasa yang sama.
Menurut Hough (1972: ix,1) meskipun
sekarang banyak dipermasalahkan dalam sastra, stilistika lahir bahasa, sehingga
stilistika diangap jembatan untuk memahami bahasa dan sastra sekaligus
antarhubungannya. Stilistika diharapkan dapat merupakan alat penghubung pertama
dan utama dalam rangka membangun kembali hubungan yang sudah lama seolah-olah
terlupakan. Pertama, secara definisi stilistika adalah ilmu tentang gaya
bahasa. Kedua, stilistika adalah kajian mengenai sastra dalam kaitannya
dengan penggunaan bahasa. Ketiga, meskipun dalam pengertian luas
stilistika meliputi aspek kebudayaan lain tetapi dasar pemahamanya tetap
bertumpu pada bahasa. Retorika yang dianggap sebagai awal perkembangan
stilistika adalah penggunaan bahasa dalam pidato. Sesuai dengan hakikat bahasa,
maka yang diutamakan adalah daya persuasinya terhadap audiens, tentu tujuan
seperti ini berbeda dengan sastra, khususnya sastra moderen, tujuan stilistika
adalah aspek estetikanya.[3]
Sejarah Stilistika
di Barat diketahui ilmu pengetahuan pada
umumnya, mengikuti perkembangan di dunia Barat. Oleh karena itu, sejarah
perkembanngan stilistika dibedakan menjadi dua macam, pertama yang terjadi di
dunia Barat, kedua bagaimana perkembangannya sesudah berada di Indonesia. Stilistika
berkaitan erat dengan Stile (gaya).
Stilistika dalam
tradisi Arab
Stilistika tradis Arab, embrionya
ada sejak zaman sahabat, lalu berkembang bersama dengan derap ekspansi Islam
keluar jazirah Arab. Respon non Arab terhadap ajaran Islam sangat marak
bersamaan dengan maraknya kajian-kajian sumber Islam melalui media bahasanya,
maka muncullah para linguis yang handal, seperti al-Farrai al-Jahiz, al-
Rumani, al-Kattabi, al-Baqilani, dan al-Qaidi Abd. Mereka mengemukakan
teori-teri stilistika dalam format Balaghoh terutama dalam kemasan al-Nazm. Ada
beberapa teori yang dikembangkan mirip dengan yang berkembang di stilistika
Barat, misalnya gaya sendiri. Mirip teori Buffon le styele est i” bomme ni
me (style adalah orangnya itu sendiri).
Teori stilistika dlam kemasan
al-Nazm mencapai puncaknya pada masa al-Jurjani (w.471 H.) terutama dalam kedua
bukunya Dala’il al-I’ Jaz dan Asrar Al-Balaghoh. Ia telah
meletakkan pondasi teori-teori stilistika mendahului teori yang dikemukakan
Charles Bally (1865-1947) atau ahli Stilistika Barat lainnya sehingga tidak
berlebihan jika Abdul Qohir al-Jurjani disebut sebagai peletak pondasi
stilistika. Pada masa moderen stilistika Arab dipelopori Ahmad al-Uslibiyah.
Dalam perkembangannya terjadi tarik menarik antara yang perpegang teguh pada turas
dan yang membukukan lenbar-lebar pengaruh stilistika Barat. Namun, kedua phak
sepakat bahwa ilm al-Uslub buwa ibn
syari’iy li al-balaghoh (stilistika adalah anak sah al-balaghoh ). Pada
masa teks-teks kitab suci dan karya-karya klasik saja, tetapi juga untuk
menganalisis wacana jurnalistik, politik dan yang lainnya.[4]
[1] Syhiabudin Qalyubi, Dalam Jurnal Artikulasi
Vol.9 No.1 Februari 2010
[2] Ali Imron, Stilistika, Teori, Metode, dan
Aplikasi Pengajian Estetika Bahasa, (Solo, Cakra Books, 2009, hlm 23
[4] Syihabuddin Qolyubi, Stilistika Bahasa dan
Satra Arab, (
Comments
Post a Comment