MAHABBAH DAN MA’RIFAH MAKALAH


MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Oleh:
Ulil Albab


Pendahuluan
            Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf, agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Bahkan para ulama’ telah memberikan putusan hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim. Seperti dalam perkataan ‘Ali Abi Hasan Asy Syadzili yakni: “Barangsiapa yang tidak menyelami ilmu tasawuf maka tetkala dia meninggal akan membawa dosa yang besar tetapi dia tidak mengetahuinya”. Demikian karena dengan tasawuf adalah seorang muslim akan mengatahui kondisi nafsunya dan sifat-sifatnya yang tercela serta mengetahui cara beradab dengan Allah Swt. di setiap waktu, tempat dan dalam kondisi apapun.
            Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Komunikasi yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi pada perkembangannya, sebagian mutashowifin memberikan istilah yang berbeda-beda dalam menamakan puncak maqamat. Seperti Robi’ah al Adawiyyah dengan teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa beribadah hanyala murni karena cinta kepada sang Kholiq, bukan karena takut akan siksaan neraka dan bukan karena merahi janji kenikmatan surga. Disisi lain, Hujjah al Islam al Imam al Ghazali memberikan istilah al Ma’rifah bagi salikin yang sudah berada pada maqam tertinggi. Beliau berpendapat bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan akal saja, tetapi harus dengan perantara intuitif. Dari sekilas keterangan di atas, penulis akan memberikan suguhan yang lengkap dalam makalah ini, tentang 2 teori yang telah dicetuskan oleh 2 ahli tasawuf di atas, sehingga para salikin memahami dengan benar tentang macam-macam maqomat.

1.      Definisi Mahabbah
Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata ahabbah-yuhibbu-mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd (benci). Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berartisuatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan.Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan. Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya dan seorang hamba mencintai Allah Swt. Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya. 
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
a.      Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan.
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
MAHABBAH DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIST
            Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam Al Qur’an yang mengambarkan bahwa antara manusia denagn Tuhan dapat saling cinta. Misalnya ayat yang berbunyi yang Artinya: Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu. (QS.Ali Imran,30). Allah akan mendatangkan suatu umat yangdi cintai-Nya dan yang mencintai-Nya. (Qs.al-Maidah,5;54).
Di dalam  hadist juga dinyatakan sebagai berikut: Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan perbuatan hingga aku cinta kepadaNya. Orang yang ku cintai menjadi telinga,mata dan tangan-Ku. Kedua ayat dan satu hadist tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasl dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan Roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadist tersebut juga, menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang di cintai telah menyatu dengan yang mencintai yang di gambarkan pada telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut di lakukan dengan amal ibadah yang di lakukan dengan sunggguh sungguh.
2.      Definisi Ma’rifah
Istilah Ma’rifah berasal dari kata AL-Ma’arif, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila di hubungkan dengan pengalaman Tasawuf,maka istilah Ma’arif disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf. Ma’rifah berasal dari kata ‘Arafa,Ya’rifu,Irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakekat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu biasa di dapati oleh orang orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini di dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakekatitu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya Ma’rifah di gunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, Ma’rifah di artikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya dari Literatur yang di berikan tentang ma’rifah sebagai di katakan  Harun Nasution, Ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
3.      Untuk Mencapai Ma’rifah
Untuk mencapai Ma’rifah telah ada dalam diri manusia, Yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart (dalam bahasa Inggris), karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedngkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segal yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia rahasia Tuhan. Qalb yang telah di bersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut di sinari cahaya Tuhan.  Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep Takhalli,Tahlli,Tajalli. Takhalli yaitu mengkosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat, Tahalli yaitu menghiasi diri dengan ahlak yang mulia dan amal ibadah, Sedangkan Tajalli yaitu terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
4.      TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MA’RIFAH
Dalam literatur Tasawuf di jumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham Ma’rifah, Yaitu Imam al-Ghazali dan Zun-al Nun al- Misri. Al-Ghazali lahir 1095 M di Ghazaleh,suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nisamiah Nisyafur setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari ilmu teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat dan lain lain, akhirnya ia memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus ditahun 1105M, dan meninggal disana tahun1111 M. Zun al-Msri lahirnya tidak banyak diketahui,yang di ketahui hanya wafatnya tahun 860M berasal dariNaubah negeri  yang terletak Sudan dan Mesir. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,menuruti garis perintah yang di turunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham marifah dapat di ikuti dari pendapat pendapatnya. Al Ghazali mengatakan marifah adalah tampak jelas rahasia rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencangkup segal yang ada. Lebih lanjut al Ghazali mengatakan, ma’rifah adalah Memandang kepada wajah (rahasia) Allah. Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai marifah tentang Tuhan,Yaitu arif tidak akan mengatakan ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan kata kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang Tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannyaitu. Tetapi bagi al-Ghazali marifah urutannya terlebih dahulu dari pada mahabah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun mahabbah yang di maksud al Ghazali berlainan dengan mahabbah yang di ucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada seseorang yang berbuat baik kepadanya,cinta yang timbul dari kasih dan Rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup,rezeki,kesenangan dan lain lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma,rifah danmahabah itulah setinggi tinggi tingkat yang dapat di capai seorang sufi. Dan pengetahuan yang di peroleh dari marifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.
5.      MA’RIFAH DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN DAN HADIST
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia rahasia dari Tuhan yang di berikan kepada hambaNya melalui pancaran cahaya-Nya yang di masukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. Dengan demikian Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur di ulang dan sebagian besar di hubungkan dengan Tuhan. Yang tiada di beri cahayaMisalnya ayat yang berbunyi: Dan barang siapa (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.(QS.al-Zumar,39:22). Dua ayat tersebut sama sama berbicara tentang cahaya Tuhan.Cahaya tersebut ternyata dapat di berikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah akan mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam marifah kepada Allah yang di dapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran marifah sangat di mungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al Quran. Selanjutnya di dalam hadist kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi: Aku (Allah) perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku, (Hadist Qudsi). Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa  Allah dapat di kenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa marifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

KESIMPULAN
Tasawuf memiliki peran penting dalam perjalan para salikin kepada yang dituju yakni Allah. Tanpa tasawuf para salikin tak akan dapat mengenal dan mencintai Allah Swt. Sehingga dalam perjalananya mereka melewati dari tahap satu ke tahap lainnya, dan berakhir pada maqomat ‘aliyah. Maqam yang telah tersingkap sebuah ta’bir yang selama ini telah menghalangi mereka melihat Allah dengan mata hatinya. Maqam yang hanya mengenal” Cinta“ kepada Allah, tanpa memperhitungkan sakitnya siksaan api neraka dan nikmatnya hidangan surga. Maqam yang tidak mengenal lagi siapakah dirinya. Dalam maqam ini, para ahli tasawuf memberikan berbagai istilah yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman rohaninya yang telah dicapai selama menjadi seorang salik.
Seperti istilah al Ma’rifah yang telah digagas oleh Abu Hamid al Ghazali, dalam istilahnya beliau menyebutkan bahwa, al Ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan melalui tahapan Takhalli, Tahalli, Tajalli terlebih dahulu, sehingga mata hatinya terbuka tanpa ada ta’bir yang dapat menghalangi antara salik dan Tuhan. Rabi’ah al Adawiyyah juga memberikan nama bagi salik yang sudah duduk bersanding dengan Allah Swt. Yakni “ al Mahabbah”. Rabi’ah lebih senang dengan istilah Hubb, sebab menurut beliau, cinta tak memandang apa yang telah dilarang oleh Mahbub dan tidak pula memandang apa yang telah diperintahNya, tetapi Muhib hanyalah memandang siapa yang memerintah dan siapa yang melarangnya. Sehingga dia tidak takut jika dia di masukkan ke dalam neraka, tidak akan senang jika dia diberi hidangan surga, dia lebih senang bersama Allah. Neraka dan surga tidaklah menjadi ukura nnya dalam beribadah, hanya Allah yang telah menjadi tujuannya semata.









Daftar Pustaka


Comments