Yahudi
Dalam Prespektif Al-Qur’an
Oleh
: Ulil Albab
Yahudi adalah agama samawi (yang berdasarkan wahyu dari Allah), agama
ini ada sekitar 2000 tahun sebelum agama Islam turun. Kitab sucinya adalah
At-Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As. Ada beberapa pendapat mengenai
asal kata Yahudi, diantaranya yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa kata
yahud diambil dari kata hada yahuda yang berarti raja’a yarji’u
(kembali) makna ini dikuatkan dengan al-Qur’an, surat al-A’raf, ayat 156, Inna
huda ilaika, artinya sesunngguhnya aku (Musa) telah kembali kepadamu. Ayat
ini menjelaskan bahwa kedatangan Nabi Musa As kepada kaumnya untuk
mengembalikan mereka ke jalan yang benar
Ahir-ahir ini, dalam konteks dan harapan idealitas kehidupan, hubungan
Yahudi-Muslim ternyata semakin ditantang oleh berbagai persenoal politik dan
ideologi. Perebutan wilayah geografis dan kekuasaan politik di timur tengah,
yang melibatkan berbagai kepentingan internasioanal, telah memainkan peran
penting dalam menumbuhkan kesan semakin negatif pada masing-masing pihak
terhadap pihak lain dan bahkan telah merambat ke dalam pikitran dan suasana ati
banyak orang di dunia ini, baik Yahudi maupun Muslim, akibat dari provokasi dan
kekuatan (fear) yang ditiupkan kedalam jiwa banyak orang awam secara
tidak henti-hentinya oleh mereka yang terlalau berambisi dan ingin menang
sendiri. Akibatnya, agama dan kekerasan seolah-olah tidak dapat lagi dipisahankan,
kemerdekaan telah diartikan sebagai kemampuan mengalahkan dan menundukkan
lawan. Pada saat agama-agama telah dijadikan alat untuk kepentingan-kepentingan
tertentu, maka tidak ada jalan bagi seorang untuk membebaskan diri melainkan
dengan cara mengkalrifikasi pemahamanya terhadap agama itu sendiri.
Latar
belakang Masalah
Agama adalah wilayah perbincangan yang amat luas. Karena itu, studi ini
dibatasi pada kajian ayat-ayat Al-qur’an tentang Yahudi[1]. Dengan kata
lain, dapat dijlaskan bahwa wilayah “garapan” yang dipergunakan untuk tulisan
ini adalah studi Al-qur’an, dengan mengangkat salah satu sisi pandang kitab
suci tersebut tentang sebah komunitas yang mungkin dapat dikatakan unik[2] dalam sejarah
umat manusia, yaitu Yahudi. Sebagai sebuah teks seperti teks-teks lainya juga
Kitab suci Al-qur’an memiliki sifat-sifat kesejahteraan dan kebudayaan
tersendiri yang khas. Kekhusuan atau keunikan terletak pada kenyataan bahwa ia
adalah teks yang katif merespon sejarah, budaya dan realitas lingkungan masyarakat.
Diturunkan ditengah-tengah masyarakat jahiliyah dan kaumAhli Kitab (ahl
al-Kitab) al-qur’an bersikapkritis dan juga korektif terhadap melanggar
garis-garis kebenaran dan keadilan primodial yang telah digariskan Tuhan.
Sekurang-kurangnya ada tiga umat yang dihadapi al-qur’an pada saat ia
diturunkan, yaitu kaum penyembah berhala, orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nasrani/Masehi. Semua kelompok ini telah memiliki konsep-konsep keagamaan yang
mapan, sehingga al-qur’an bersikap sangat hati-hati, namun juga sangat tegas,
dalam menghadapi mereka. Banyak tradisi Arab sebelum Islam yang diadopsi
al-qur’an dengan memberikan beberapa modifikasi, seperti perkawinan, tata krama
dalam kehidupan sosial dan sistem peribadatan di sekitar Tanah Haram.
Di samping itu ada juga kritik-kritik yang dilancarkan secara evolutif,
seperti yang berkaitan dengan larangan mengkonsumsi khamar. Kritik yang
berkaitan dengan konsep-konsep teologi dan dasar-dasar kemanusian dismpaikan
al-qur’a secara lebih tegas dan bahkan keras. Dalam hal ini al-qur’an komromi
menolak, misalnya penyembahan berhala, konsep ketuhanan Isa Almasih dan kalim
orang-orang Yahudi sebagai umat pilihan (semata-mata karena beridentitas
Yahudi). Secara umum dapat dikatakan bahwa al-quran, disamping telah membentuk
sebuah sebuah pandangan keagamaan tersendiri, juga telah membangun sebuah sikap
keagamaan tertentu terhadap penganut agama lain yang ikut terlibat dalam
interaksi sosial budaya sepanjang sejarah kelahiran Islam, yakni sepanjang
proses sejarah turunya al-qur’an.
Kaum Ahli Kitab, terutama kalangan Yhaudi , adalah komunitas yang
termasuk menonjol keterlibatannya dalam perkembangan pemebentukan keyakinan
Islam. Kelompok ini sering kali berhadapan dengan Nabi, baik dalam suasana
keakraban maupun permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi dan
hubungan ini dalam beberapa hal berahir dengan konflik. Memang harus diakui
bahwa pada dasrnya yang menjadi sasaran awal al-qur’an adalah kota Mekkah
dengan kehidupan para elitnya yang korup,[3] namun kemudian,
tidak terhindarkan, masyarakat Yahudi dan Nasrani ikut terlibat, sebab dalam
pandangan al-qur’an manusia sesungguhnya adalah umat yang satu.[4]
Nabi Muhammad pada awalnya menaruh harapan besar pada orang Yahudi
sebagai pendukung bagi agama yang sedang beliau dakwahkan, sebab baliau
menganggap mereka memilki basis keyakinan yang bersumber pada ajaran yang
sejalan dengan agama beliau bawa. Interaksi Nabi dan kamum Muslim di satu pihak
dengan kaum Yahudi di pihak lain kemudian menjadi intens, dan wajhyu pun turun
memberikan berbagai tanggapan, mengkritik dan akhirnya bahkan mengecam
tindakan-tindakan mereka yang ternyata tidak seperti diharpakan, yakni justru
menjadi penentang utama terhadap risalah yang dibawa Nabi.[5] Perkembangan
sikap al-qur’an terhadap Yahudi ini menarik, karena ia bergerak seiring dengan
perkembangan kondisi politik dan pembentukan masyarakat Muslim masa awal. Ini
menjadi indikasi bagi watak historitas (kesejahteraan) teks al-qur’an sebuah
wacana kontemporer yang tampak masih hangat diperdebatkan. Namun yang lebih
penting disini adalah kenyataan bahwa karena demikian seringnya al-qur’an
menyebut tentang Yahudi, tidak jarang kaum Muslim menganggap al-qur’an telah
cukup memadai sebagai referensi untuk mengetahui apa yang perlu diketahui
mengenai Yahudi tanpa memerlukan sumber-sumber lain. Fenomena ini merupakan
keresahan berikutnya, bahwa kajian tentang ayat-ayat mengenai Yahudi dalam
al-qur’an perlu ditelaah kembali dengan semangat dan pendekatan yang lebih
“objektif” dan ilmiah.
Mengapapa Yahudi dalam al-quran? Persoalan tentang Yahudi telah menjadi
topik penting bukan hanya karena jarang diangkat secara serius dalam diskursus
keislaman dengan pendekatan yang objektif dan apresiatif, tetapi juga karena
sering kali disalah pahami, diperalat untuk kepentingan politik tertentu serta
dipandang penuh kecurigaan. Yahudi sebagai sebuah agama menempati posisi yang tersudutkan
dalam wacana dialog antar agama kontemporer, sampai saat-saat yang paling
terahir, khususnya dialog Yahudi-Islam.[6] Begitu pula Yahudi sebagai sebuah bangsa atau
ras telah tercabik-cabik oleh kebencian dan tercampak bagai sampah dalam
sejarah dan pergmalan politik bangsa-bangsa di dunia. Sejarah Eropa penuh
dengan lumuran darah bangsa Yahudi,[7] dan literatur
Islam juga tidak sunyi dari cercaan dan kutukan terhadap bangsa tersebut.[8] Yahudi telah menjadi simbol Iblis, dan
seluruh kejahatan, baik politik, ekonomi ataupun lainya di dunia ini dianggap
tidak lain melainkan rekayasa orang-orang Yahudi. Ini adalah pemandangan yang
amat menyedihkan dan perlu dicermati ulang dengan penuh kehati-hati dan pikiran
terbuka. Nilai-nilai kemanusian dan kesucian dalam budaya dan komunitas manapun
pada dasarnya harus diselamatkan, dengan segala upaya, sekecil apa pun upaya
tersebut dimiliki.
Mengapa al-qur’an yang dijadikan titik keberatan? Sejumlah ayat
al-qur’an, sebagaimana telah disinggung di atas, telah mengkritik kaum Yahudi
atau Bani Israel, atau Ahli Kitab secar umum.[9] Tetapi di
samping itu terdapat pula ayat-ayat yang menempatkan mereka secara netral dan
bahkan memuji.[10]
Tetapi para komentator Muslim tradisional telah sering kali mekwilkan ayat-ayat
yang terahir ini untuk mengalahkan yang pertama, atau mereka mengeneralisasikan
ayat-ayat yang mungkin berbicara secara spesifik mengenai sebuah komunitas
Yahudi tertentu kepada semua umat Yahudi.
Makna di balik kata Yahudi yang disuguhkan oleh al-Qur’an perlu digali
dan dikaji lebih dalam. Karena al-Qur’an merupakan intetional text yang
mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang tersimpan di dalamnya. Melalui pisau
kajian semnatik.[11]
Kata Yahudi akan dikupas dengan tajam untuk mendapatkan makna terdalm
masing-masing kata Yahudi dalam al-Qur’an ayat-ayat yang memuat kata hada,
hudan, dan yahud :
انّ الذّ ينَ ءامنواْ وَالّذينَ
هادواْوالنصَرَى والصّبئينَ منْ امنَ بالله واليوْمِ الأَخِرِوعَمِلَ
صلِحًافلَهُمْ أجْرُهم عندربّهم ولاخوفٌ عليهمْ وَلاهم يَهزَنون 62.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian beramal saleh, mereka akan menerima
pahalamereka bersedih hati. (Surat al-Baqorah (2): 62).
وقالواْ لن يدخلَ الجنةالّامن كان
هودًاأَوْنَصَرَ.قلي. تلك أمَانيُهُمْ .قلي. قُلْ هاتُواْبُرهَنكم إنكنتمْ صدِقينَ .111
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali
akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”.
Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah:
Tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Surat
al-Baqara (2): 111).
وقالتِ اليهودعزيرٌابن الله وقالت النصرَى
المسح ابنُ الله .صلى. ذلك قوْلُهم بأَفْوَههم صلي يُضَهؤن قول
الّذِينَ كفرُواْمن قبلُ ج قتلهم اللهُ
أنَّى يُؤفَكُون. 30
Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah”
dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah” itulah ucapan yang
keluar dari mulut mereka. Bagaimana mereka samapai berpaling? (Surat At-Taubah
(9) : 30)[12]
Muncul keunikan dari kata Yahudi dalam
ayat-ayat Al-qur’an. Dari tiga ayat di atas, kata Yahudi dalam setiap ayat
bentuk susunanya berbeda. Dalam Surat al-Baqorah (2) ayat 62 berbentuk hadu,
sedangkan dalam surat yang sama, pada ayat 111 bentuknya hudan, dan pada
surat at-Taubah (9) ayat 30, kata Yahudi susunannya adalah yahud.
Susunan kata Yahudi yang berbeda pada setiap ayat, berbeda dengan kata Nasrani
yang biasanya bergandengan dengan kata Yahudi. Dalam al-Qur’an kata Nasrani
tidak mengalami perubahan yang signifikan, hanya dari bentuk singular
kebentuk plural.
Dalam perkembangannya, al-Qur’an memiliki
perhatian yang cermat dan mendetail tentang sepak terjang Yahudi di bumi, baik
sebelum dan sesudah masa Nabi Muhammad. Al-Qur’an menggambarkan berbagai
ekspresi keadaan Bani Israil, yang di dalamnya terdapat penganut agama Yahudi.
Seperti cerita orang Yahudi yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 113.
Dalam ayat tersebut digambarkan keadaan sekelompok orang Yahudi yang beradu pendapat dengan segolongan orang
dari agama Nasrani pada zaman Nabi Muhammad. Keduanya tidak ada yang mau
mengalah dan keras kepala. Akan tetapi, hal yang perlu digaris bawahi mengenai
isu Yahudi ini adakah tidak selalu kata Bani Israel merujuk kepada orang yang
beragama Yahudi. Di antara Bani Israel ada yang masih menganut agama katahuidan
yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Dalam surat Yunus (10) ayat 90 juga
disebutkan bahwa ketika Fir’aun hendak tenggelam di Laut Merah, dirinya
langsung beriman kepada Tuhan yang disembah oleh Bani Israel dan mengaku
seorang muslim. Dijelaskan pula dalam surat yang sama ayat 84 bahwasanya Nabi
Musa menyebut umatnya yang beriman dan berserah diri kepada Allah sebagai
seorang muslim.
Seperti telah disebutkan, al-qur’an berbicara
sangat banyak tentang Yahudi, dan sepertinya, umat inilah yang telah menyita
perhatian yang lebih serius dan intensif dari kitab suci Islam disbanding
umat-umat lain, selain umat Islam sendiri, bahkan ketika alqur’an berbicara
mengenai Ahli Kitab (ahl al-Kitab), pada umumnya yang dimaksudkan adalah
umat Yahudi.[13]
Al-Qur’an kelihatanya bukan hanya merespon sikap kaum Yahudi pada zaman
Muhammad, tetapi juga membebrkan sejarah mereka yang panjang, pandangan
keagamaan mereka, dan berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik
positif maupun negative. Karena itu, sebuah penelaah yang cermat sangat di
perlukan untuk menjelaskan kembali bagaimana hubungan al-qur’an dengan
orang-orang Yahudi dan bagaimana al-qur’an mempersiapkan mereka sebagai sebuah
bangsa dan juga sebagai sebuah komunitas keagamaan.
Sampai pada disini dapat dikatakan bahwa Yahudi
mendapat tempat yang “special” dalam Kitab Suci Al-qur’an. Kenyataan sejarah
juga menunjukan bahwa mereka inilah satu-satunya kelompok keagamaan yang paling
intens berinteraksi dengan Nabi Muhammad sebagai pembawa al-Qur’an. Dengan kata
lain, mereka adalah kelompok yang ikut berperan dalam membentuk milieu
masyarakat penerima al-qur’an. Lebih jauh lagi, para komentator Muslim juga
telah secara ekstensif mengutupi tradisi Yahudi untuk memenuhi
lembaran-lembaran karya tafsir mereka, meski validitas tindakan ini masih dalam
ikhtilaf. Fakta-fakta ini menjadi alasan bagi pentingnya menelaah
kembali perspektif al-Qur’an tentang Yahudi, mengingat telah memburuknya
hubungan umat ini dengan kaum Muslim pada masa-masa terahir.
Yahudi,
dihampir seluruh dunia Arab dan Muslim, telah menjadi simbol segala kejahatan.
Yahudi bangsa terkutuk demikian dominan mempengaruhi pikirkan kebanyakn Muslim
dewasa ini, terlebih sejak munculnya konflik Arab-Israel pada abad modern
(1948) bukanlah awal dari kebencian antara kedua umat ini. Dalam dunia yang
semakin global, kesadaran akan pluralitas dengan sendirinya sebagai yang
superior. Semangat inilah yang mengusik pemikiran penulis mengenai pandangan
al-qur’an tentang Yahudi yang dalam sejarah Islam telah diposisikan sebagai
kaum terkutuk. Jika Yahudi adalah terkutuk, bukanlah sebagai konsekkuensi
logisnya berarti dunia ini harus dibersihkan dari jenis masyarakat atau bangsa
tersebut? Apakah pandangan seperti ini realitas? Apakah tidak bertentangan
dengan al-qur’an itu sendiri yang tidak membeda-bedakan manusia atas dasar suku
bangsa, tidak memaksa manusia memeluk agama, dan bahkan respek terhadap ahl
al-Kitab (yang ummnya adalah orang Yahudi).
Kritik-kritik
al-Qur’an terhadap umat Yahudi pada dasar mengacu pada landasan seruan al-quran
terhadap umat Yahudi al-quran sendiri yang bersifat universal, egaliter,
terbuka dan menekan prinsip-prinsip moral dan keadilan. Al-qur’an mengkritik
orang-orang Yahudi karena perilaku mereka yang dianggap telah melanggar prinsip
dasar tersebut. Lebih jauh mereka dikecam, bahkan disebut sebagai kafir karena
berbagai penghianatan yang mereka lakukan terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Oramg-orang
Yahudi yang menjadi sasaran kritik al-qur’an adalah sangat partikuler, yakni
orang-orang Yahudi (Medinah) zaman Nabi Muhammad. Karena itu kritik-kritik
tersebut tidak dapat digenerilisasi kepada semua Yahudi di dunia sepanjang
sejarah. Dengan kata lain, bahwa kaum Yahudi, setelah daspora, telah membentuk
kelompok-kelompok tertentu di berbagai belahan dunia dengan tradisi dan
tafsiran mereka masing-masing atas ajaran agama yang mereka warisi dari Nabi
Musa, tidak semua mereka memiliiki pandangan yang sama, dan kaum Yahudi di
Arab, setelah melalui proses sejarah yang panjang, tentu saja membangun sikap
dan pandangannya sendiri tentang agama. Al-qur’an telah menunjukan respek dan
sikap bersahabat terhadap kaum Ahli Kitab, maka alangkah tidak pantas bagi kaum
Muslim memilih jalan lain dalam bersikap terhadap mereka. Al-qur’an telah
menyeru mereka dengan lembut: ya ahl al-Kitab ta alaw ila kalimah sawa,
maka sepantasnya kaum Muslim selalu membuka ruang dialog dalam menyelesaikan
konflik denganmereka. Al-qur’an memang pernah menyebutkan bahwa Tuhan telah mengutuk
umat Yahudi, tetapi ini harus diperjelaskan. Yahudi yang mana, kapan dan dalam
konteks yang bagimana. Seperti telah disebutkan di atas hal ini tidak dapat
digeneralisasi secara sembarangan, karena al-qur’an sebenarnya tidak mengenal
kutukan rasial atau kecaman diskriminatif.
Dari
urain diatas penulis merangkum apa yang telah saya pahami bahwasanya, ayat-ayat
al-qur’an tentang Yahudi atau Bani Israil pada dasarnya tidak semua berupa
kritik dan kecaman, sangat banyak ayat-ayat al-qur’an yang justru memberikan
apresiasi kepada mereka atau sekurang-kurangnya bersifat netral. Bani Israel
yang disebutkan didalam al-qur’an sebagai umat pilihan dan banyak ayat dirujuk
sebagai Ahli Kitab, yakni umat yang memiliki kitab suci yang diturunkan Tuhan.
Karena itu al-qur’an menyeru mereka mengamalkan ajaran kitab sucinya dengan
benar. Berkaitan dengan hal ini, konsep Tahrif atau tabdil,
seperti seperti yang kembangkan ulama tradisional, yang mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi telah melakukan distrosi terhadap teks kitab suci mereka.
Dalam
perspektif orang Yahudi yang secara nyata menentang al-qur’an. Artinya
al-qur’an sama sekalitidak bermaksud menyerang agama Yahudi atau menghina umat
Yahudi. Akan tetapi, hanya mengkritik tingkal laku, mereka yang melakukan penghianatan.
Mereka inin adalah orang-orang Yahudi Medinah dan bergumul dengan peradapan
Arab serta secara intens berinteraksi dengan Nabi dan al-qur’an. Dengan
demikian, tidak semua Yahudi di seluruh dunia dan sepanjang sejarah persisi
seperti diungkapkan al-qur’an, baik dari segi positif maupun negatif, bahkan
jika kaum Muslim ingin mengetahui segla sesuatu tentang Yahudi, maka al-qur’an
buakanlah sumber satu-satunya dan bukan pula sumber yang memadai. Akan tetapi,
al-qur’an akan lebih baik jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan
teks-teks keagaman lainnya.
Ajaran
dasar al-qur’an sebenarnya sangat kompatibel dengan semangat pluralisme agama.
al-qur’an mengajak kepada keterbuakaan dan mengkritik sikap ekslusif dan
klaim-klaim benar sendiri seperti yang diperlihatkan oleh orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang hidup di lingkungan masyarakat Arab zaman turun wahyu. Oleh
karena itu, alangkah ironisnya dan memang tidak mungkin jika al-qur’an sendiri
lantas dianggap telah mengambil sikap dan tindakan yang sama. Jika semua umat
beragama mau merujuk pada inti ajaran kitab sucinya secara jujur dan bersedia
untuk bersikap terbuka terhadap umat lain serta mampu mengapresiasi kitab suci
umat lain secara positif, maka akan ada harapan yang lebih cerah bagi kehidupan
yang lebih damai di antara umat manusia (yang memiliki budaya dan tradisi
keagamaan berbeda-beda) dimasa akan datang.[14] Mohon maaf
karena dalam penulisan ini saya mengambil tulisan-tulisan Zulkarnai, tentang
“Yahudi dalam al-qur’an” Teks konteks dan diskursusi Pluralisme Agama,. banyak
sekali yang saya kutip dalam pembahasan ini. Untuk kedepanya mohon kritik dan
saran agar saya bisa memperbaiki dan bisa lebih baik.
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Hikmah: Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung,
Diponogoro, 2010),
Fazlur Rahman “Islam’s Attitude Toward Judaism,” The Muslim Wor, Vol.
LXXII, No. 1 January, 1982
Misalnya
Q.S. al-Baqarah: 140 dan Ali Imron: 67.
Misalnya Q.S. al-Baqarah: 62, Ali
‘Imron: 64 dan al-Dukhan: 32.
Zulkarnaini, “Yahudi dalam Al-Qur’an” Teks, Konteks dan
Diskursusi Pluralisme Agama, Yogyakarat 2004.
[1] Yahudi yang dimaksutkan disisni adalah
umat Yahudi dalam pengertian luas, termasuk Bani Israil serta tradisi dan
ajaran yang mereka anut.
[2] Al-qur’an menyebut bangsa Yahudi sebagai
umat pilihan (Q.S. al-Dukhan: 32). Namun ulasan Islam umumnya menfsirkan ayat
ini dengan mengatakan bahwa mereka (bangsa Yahudi/Israel) adalah umat pilihan
pada zamannya. Maksutnya, sekarang mereka bukan umat pilihan lagi, sebab “zaman
Yahudi” telah berlalu, sedangkan sekarang adalah “zaman Islam” jadi yang
dianggap umat pilihan sekarang adalah kaum Muslim. Pencermatan terhadap
pandangan tersebut memperlihatkan adanya bias kultural di dalamnya. Dalam
kenyataan, sampai sekarang Yahudi masih eksis dan merupakan bangsa yang
diperhitungkan, baik dalam bidang ekonomi maupun ilmu pengetahuan. Sesungguhnya
peradapan tidak dapat dibatasi dengan garis-garis geografi dan sejaranh.
Istilah “zaman Yahudi” dan “zaman Islam” dapat membingungkan, tidak jauh
berbeda dari istilah “negara Yahudi” dan “negara Islam” yang terahir ini
terkait dengan politik. Politik atau kekuasaan juga sering “mengacaukan”.
Barangkali akan lebih tepat jika mufasir (ulama Islam) memberikan penjelasan
lain yang lebih mengacu pda prinsip-prinsip universal.
[3] Fazlur Rahman “Islam’s Attitude Toward
Judaism,” The Muslim Wor, Vol. LXXII, No. 1 January, 1982, hal. 1.
[4] Q.S. al-Baqarah: 213.
[5] Beberapa riwayat menyebutkan bagaimana
misalnya orang-orang Yahudi melakukan konspirasi dengan kaum musyrik Mekkah
untuk menentang Nabi dengan mengajukan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan
atau bahkan myulut api pertikan, selanjutnaya diriwayatkan sejumlah ayat
al-qur’an diturunkan dalam rangka meresponi secara langsung sikap negatif
orang-orang Yhaudi terhadap Islam dan Nabi Muhammad (misalnya riwayat sabab
al-nuzul ayat Q.S. AL-Baqoroh: 80-98, al-Isra’: 85 dan al-Khaf: 83). Lihat
karanganAbu al-Hasan Ali al-Wahidi, Asbab al-Nuzul.
[6] Sementara dialog Yahudi-Kristen (dan
juga Islam-Kristen) telah sangat banyak berlangsung, dialog Islam Yahudi
mengenai persoalan-persoalan kontemorer hampir basa dikatakan tidak terjadi,
diantara lain sebagai akibat dari bebrbagai keterangan politik saja pembekuan
negara Israel. Lihat Louis Jacobs, The Jewish Rreligion: A Campanion, (Oxfrd:
Oxford University Press, 1995), 273.
[7] Sejak orang-orang Nasrani Eropa bergerak
dengan semangat Perang Salib pada abd XI banyak sekali orang-orang Yahudi yang
dipaksa masuk agama Nasrani atau dibunuh secara masal sebagai upaya balas
dendam: Yahudi dikatakan telah membunuh Tuhan mereka (Yesus). Kebencian ini terus
berlangsung samapai abad moderen yang puncaknya adalah peristiwa the
Holocoust: pembunuhan masal terhadap (laki-laki, perempuan dan anak-nak)
Yahudi dalam bentuk yang sangat mengerikan oleh Nazi Jerman sebuah skandal
kemanusian yang, barangkali terdasyat sepanjang sejarah. Lihat Hamid Basyaib,
“Perspektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi,” dalam Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over: Melintas Bats Agama, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998), lihat juga Lewis M Hopfe dan Mark R, Woodward, Religions
of the World, (New Jersy: Pretice Hll, 1998), 275-286. Namun perlu dicatat
bahwa masih ada polemik tentang sikap Nasrani mengenai peristiwa tersebut:
apakah politik, ekonomi, agama atau sentimen rasial. Semuanya tentu ada kadar
yang berbeda.
[8] Dalam sebuah konferensi yang diadakan
oleh The Academy of Islamic Research Universitas al-Azhar pada tahun
1968, misalnya, orang-orang Yahudi berulang kali dirujuk sebagai musuh Tuhan,
musuh kemanusian atau anjing-anjing kemanusian. Liaht D.F. Green (ed), Arab
Theologians on Jews and Israel, (Geneve, 1974), khususnya halaman 2.
Buku-buku dalam bahasa Indonesia juga sudah banyak disusun, baik dalam bentuk
orisinal, terjemahan atau saduran, yang mengungkapkan berbagai cercaan terhadap
Yahudi dengan merujuuk pada literatur Islam dan al-qur’an. Misalnya, Drs. M.
Thalib telah menyusun sebuah buku yang disadur dari Tafsir al-Maraghi dengan
judul 76 Karakter Yahudi dalam al-qur’an, (solo: Pustaka Mantiq, t.t).
Semua karakter yang dimaksutkan adalah sifat-sifat negatif dan cercaan
semata.
[9] Misalnya Q.S. al-Baqarah: 140 dan Ali
Imron: 67.
[10] Misalnya Q.S. al-Baqarah: 62, Ali
‘Imron: 64 dan al-Dukhan: 32.
[11] Semantik adalah suatu ilmu yang
berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas darikata.
Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia. Pendekatan Semnatik
Terhadap al-Qur’an terj. Agus Fhari Husein, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1997), hlm. 2.
[12] Departemen Agama RI, Al-Hikmah:
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung, Diponogoro, 2010), hal. 191.
[13] Hal ini akan jelas ketika ayat-ayat
tentang ahl al-Kitab dilihat dalam kontes atau sebab turunya, seperti
dikatakan Syarif Khalil Sukar ketika menulis Muqodimah untuk karya ‘Afif ‘ Abd
al-Fattah Tabbarah, Al-Yahud fi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilm li
al-Malayin, 1986), hal. 7.
[14]
Zulkarnaini, “Yahudi dalam Al-Qur’an” Teks, Konteks dan Diskursusi
Pluralisme Agama, Yogyakarat 2004.
Comments
Post a Comment